Refleksi Hukum dan Moral Antara Seleksi Alam dan Kepastian Hukum di Indonesia

INFO-TARGET.COM | SUMEDANG – Ungkapan sederhana yang beredar di media sosial tentang keyakinan pada “hukum Tuhan” dan “seleksi alam” sesungguhnya relevan dengan kondisi bangsa kita hari ini. Di tengah derasnya arus demokrasi, krisis moral, dan problematika hukum, masyarakat kerap merasa bahwa keadilan seakan jauh dari harapan, kamis 21/08/2025.

Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, Indonesia adalah negara hukum. Prinsip ini seharusnya menjamin bahwa siapa pun tanpa memandang jabatan, kekayaan, atau pengaruh politik memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum. Namun realitas di lapangan sering kali berkata lain. Kasus-kasus korupsi yang berulang, praktik tebang pilih, hingga hukum yang terasa tumpul ke atas dan tajam ke bawah menjadi bukti bahwa “seleksi alam” tidak bisa dijadikan sandaran utama.

Ketika seseorang berkata dirinya bukan nabi yang selalu benar, tetapi juga bukan setan yang selalu salah, sesungguhnya itu adalah refleksi kemanusiaan. Dalam konteks hukum, hal ini identik dengan asas equality before the law: tidak ada yang mutlak benar dan tidak ada pula yang kebal dari kesalahan hukum.

Namun yang menjadi persoalan besar adalah ketika “kebaikan dan kepedulian” justru dianggap kosong. Fenomena ini tampak nyata di Indonesia saat banyak aktivis, jurnalis, atau warga biasa yang memperjuangkan kebenaran malah mendapat tekanan. Padahal, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 menegaskan pentingnya penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari KKN.

Di sinilah hukum seharusnya hadir bukan sekadar sebagai teks mati, melainkan sebagai alat rekayasa sosial untuk memperbaiki moral bangsa. Ketika aparat hukum benar-benar bekerja dengan independen, tanpa intervensi politik dan kepentingan kelompok, maka keadilan tidak lagi bergantung pada “seleksi alam”, melainkan pada kepastian hukum yang nyata.

Refleksi spiritual dengan kalimat “Kun Fayakun” jika Allah berkehendak, maka terjadilah, mengingatkan kita bahwa pada akhirnya kebenaran hakiki tidak bisa ditutupi. Namun dalam konteks negara hukum, kita tidak bisa menyerahkan semuanya pada takdir. Hukum positif yang ada harus ditegakkan, karena itulah amanah konstitusi.

Indonesia saat ini membutuhkan sinergi antara nilai spiritual dan hukum negara. Moralitas menjadi pondasi, hukum menjadi instrumen. Jika keduanya berjalan seimbang, maka keadilan bukan lagi sekadar wacana, tetapi sebuah kenyataan yang bisa dirasakan oleh rakyat.

Oleh : Piar Pratama S, S.H.

Array
Related posts
error: Content is protected !!